Selasa, 16 November 2010

Cold Outside

[ Jumlah kami 756 432 telepon Linda ]

Malam itu, kalau saja saya tidak sedang batuk, sebenarnya akan terasa mantap kalau membakar cigarette, menghirup kopi hitam, dan menyambut kehadiran pisang goreng. Tapi menu harus berganti, harus beralih dulu ke Nutrisari panas sambil melihat Obama makan malam di Istana Negara. Hujan masih titik-titik turun, seperti tidak mau membiarkan gang-gang kumuh di semesta Jakarta kepanasan. Pendengaran saya terasa ganjil mendengar Mr. Presiden menyebut Obama dengan panggilan “Yang Mulia”, kok berasa seperti panggilan seorang budak kepada tuannya. Ah, mungkin harus begitu protokolernya. Presiden Austria harus rela menjadi anak tiri, maaf, negara Anda tidak bisa mengembargo persenjataan tentara kami. Waktu Austria-1 datang, para pekerja istana masih sibuk berbenah agar istana terlihat cantik saat Presiden Afroamerika datang. Buat anak tiri, alat penerjemah pun boleh trouble, tapi jangan coba-coba sama penumpang Air Force 1, kita bisa malu, apalagi nama partainya sama. Malam semakin bergeser, saya menunggu berita dari Merapi, menunggu Lalita Gandaputri, Lori Singer, dan Amanda Valani. Status jejaring social ramai oleh gempa 5,7 skala richter di tenggara Sukabumi, dan serangan banjir yang mengusai Bandung, selamat macet Parijs van Java.

[ Hidup adalah waktu tersisa, diisi sebelum kalah ]

Semacam salah jurusan, atau cita-cita yang datangnya terlambat dan dibelokkan. Siapa pun tidak ada yang bisa kembali ke masalalu, jadi menulis adalah semangat reformasi untuk membuat rencana baru, sebab yang lama sudah hangus dibakar waktu. Apa sih menariknya jurusan ekonomi?, bagi saya, sekarang, ternyata tidak ada sama sekali. Kosong, lentera tidak menyala di sana. Maka kemarin, waktu seorang kawan bertanya, “Bung, adik saya baru lulus SMA, sebaiknya kuliah jurusan apa ya?.” Kujawab dengan mantap : Komunikasi, Hubungan Internasional, Sosiologi, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, atau Jurnalistik. Ada yang salah menjalankan strategi, jurus konservatif kerja ternyata sudah tidak relevan. Sekarang sudah saatnya beralih ke jalur passion, bahwa yang berbahaya, sesungguhnya adalah bukan tidak punya kerja, tapi tidak punya minat. Air tidak bisa memadamkan api yang menyala di dalam. Bagaimana kalau nasi sudah menjadi bubur?, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab, sebab membuat bubur menjadi enak ternyata cukup sulit, kalau mau ambil resiko, sebaiknya buang saja bubur itu, dan segera ganti dengan nasi Padang. Ada yang tetap harus diisi, sebab saya belum kalah.

[ Yang kau lihat seksi, karena kau belum tahu marahnya. Oh, jangan tertipu, harus menipu ]

Selalu ada yang berjajar panjang ke belakang, dengan sinar lampu depan dan lampu rem yang terang, setiap maghrib, ratusan kendaraan berebut jalan di sepanjang Jenderal Suprapto. Mereka terlihat seperti kunang-kunang yang sedang antri di ATM. Setengah jam sebelumnya, matahari akan tenggelam perlahan, lalu menghilang di balik gereja yang berdiri di dekat kali kumuh di Cempaka Tengah. Rumah penduduk hanya terlihat atapnya, dan beberapa sangkar milik perkumpulan penyiksa burung. Itu pemandangan dari atas jembatan penyeberangan. Sudut pandang menentukan bentuk, karena siapa pun tahu bahwa rumah bukan hanya atap. Angkatan 66 mungkin tidak rela jika Soekarno diangkat menjadi pahlawan, pun demikian dengan angkatan 98 yang menolak pengangkatan juragan Cendana menjadi pahlawan. Bagi Inggris, Bung Tomo adalah seorang provokator dan pengacau kota. Sedangkan bagi Jepang, PETA adalah gerombolan siswa tidak tahu diri. Hal ini sudah lama ditulis oleh Romo Mangunwijaya dalam novel “Burung-burung Manyar”. Siapa sesungguhnya pah(a)lawan?.

[ Katingali maneh macokan meja, ku indung bapa maneh disangka hayam ]

Sebenarnya tidak perlu berdebar atau malu-malu kalau bertemu dengannya. Karena dengan begitu, dia akan mudah membaca apa yang sedang bergemuruh di dalammu. Orang yang kamu cintai akan dapat mendeteksi dari sikapmu yang kaku. Kamu jangan menjadi buku yang terbuka, karena tidak setiap orang berhak membaca dirimu. Memang ini urusannya soal telaga darah, tapi tak usahlah kau memperparah. Itu adalah khotbah dari seorang kawan, sementara saya masih membaca buku “Jazz, Parfum & Insiden”. Dia tidak tahu, bahwa semuanya, seperti kata Dee, berawal dari satu getar sel abu-abu.

Bulan ini harus menambah stok buku, sebab JIFFest masih belum tentu. November sudah masuk hari ke sepuluh, sedangkan dana festival masih kedodoran. Maka lima hari ke belakang, waktu abu vulkanik Merapi mencapai tempat-tempat jauh yang radiusnya ratusan kilometer, saya sempat berbelok ke sebuah toko buku yang penuh oleh discount. Toko sepi dan penjaganya terlihat ngantuk, sorot matanya kurang bertenaga dan terkesan kelabu. Waktu saya masuk, tak ada seorang pun pengunjung, persis seperti kuburan yang sepi dari para penziarah. Secara tempat, posisi toko itu memang sangat ngilu. Lokasinya berada di Jakarta Timur, tidak jauh dari kawasan industry yang sesak oleh para buruh yang menjual tenaga, waktu, dan otak. Di luar, cuaca selalu ekstrim; panas menyengat dan berdebu, atau hujan deras yang rajin menghimpun lumpur dan mempersembahkan banjir. Keluar dari “kuburan”, saya membawa empat buku; Laki-laki dalam Secarik Surat (Budi Darma), 168 Jam dalam Sandera (Meutya Hafid), Legiun Muslim di Kancah Eropa (Agus AHA), dan My Father’s Notebook (Kader Abdollah).

[ Sudah jangan ke Jatinangor, masih ada kota lainnya, perempuan tak cuma dia, ada tiga milyar dua puluh satu]

Pendopo sedang ramai oleh mahasiswa baru. Para senior terlihat manis dengan kesibukannya. Kampus lain menyebutnya ospek, tapi di sini, di perbatasan Bandung-Cimahi, namanya selalu berganti-ganti. Saya baru lulus, masih beraroma gedung B, masih menunggu toga, dan data statistic pengangguran sudah menunggu di depan. Alumnus (alumni baru lulus) boleh nongkrong di Pendopo, boleh sambil merokok. Gedung Administrasi Umum terlihat seperti nyonya besar yang ringkih dan cerewet. Mesjid Luqman Hakim belum rampung dibangun, dia masih terlihat premature, seperti sebuah metafor tentang iman yang tak kunjung selesai. Sambil menghisap cigarette, saya berpikir tentang organisasi mahasiswa. Adakah organisasi mahasiswa yang bebas nilai?. Dulu, organisasi intra kampus selalu mengklaim dirinya paling murni, paling bebas dari polusi organisasi luar yang sesak oleh muatan kepentingan. Tapi siang itu, waktu anak-anak BEM sibuk mengatur junior yang masih berseragam putih-abu, saya menggugat klaim itu. Dalam pikiran, saya menggugat sendirian. Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan terlihat mulai mendekati pendopo, mukanya mewakili mayoritas kaum yang bergerak di bidang akademik, dan saya meluncur ke kantin.

[ Marilah bersama kami di sini; Rock n Roll. Lupa Indonesia Raya nyanyi; Rolling Stone ]

Sekarang sedang musim berjejaring, mereka yang tak ikut dalam arus besar sering dianggap seorang asocial. Sahabat sejati sudah bergeser, layar digital mengusai komunikasi di udara. Apa bedanya Karang Taruna dengan Brotherhood?. Semua orang berkomunitas, setiap diri punya mastermind yang akan memelihara kecenderungannya. Bos sedang meeting di Puncak, ruang kantor menggigil karena suhu AC yang disetting berlebihan. Anak-anak khusyuk dengan profilenya masing-masing. Kerja, ternyata tidak semuanya dibekali oleh kesadaran, sebagian malah hanyut dalam korupsi waktu. Dan setiap korupsi harus menghasilkan, jangan sampai kalah oleh Gayus dan kawan-kawannya. Dengan dada yang gembung oleh semangat menulis, maka saya mencoba menyusun Blue Print Republik Bulubabi :


*** Blue Print Republik Bulubabi (Sebuah Draft Awal) ***

Berikut adalah beberapa hal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Pendirian Republik Bulubabi yang anggotanya hanya satu orang, yaitu saya sendiri. Tentu ini bukanlah sebuah draft final, dan memang pada dasarnya, mengacu kepada sifat dari republik ini, bahwa segalanya berjalan dinamis dan perubahan bukanlah anak haram yang dilecehkan atau ditolak dengan kasar.
  1. Republik Bulubabi adalah wadah bagi para pejalan jauh yang mempunyai kecintaan pada buku dan tulis-menulis.
  2. Pejalan jauh dijabarkan sebagai orang yang, baik sudah lama ataupun masih baru dalam mencari, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai yang tersebar di setiap jenak kehidupan.
  3. Setiap anggota Republik Bulubabi wajib membuat minimal satu tulisan dan membaca satu buku dalam rentang waktu satu bulan.
  4. Jenis, tema, maupun gaya tulisan, semuanya bebas.
  5. Jenis, dan tema buku yang dibaca, semuanya bebas.
  6. Untuk mengontrol bahwa setiap anggota Republik Bulubabi melaksanakan kewajibannya, maka tulisan wajib diupload di note facebook. Adapun untuk mengontrol kewajiban membaca buku, maka setiap anggota Republik Bulubabi harus menulis resensi buku yang telah dibacanya, dan wajib diupload di note facebook disertai dengan keterangan; nama pengarang, nama penerbit, tahun terbit, dan photo cover.
  7. Setiap tulisan dan resensi buku yang diupload di facebook, wajib di-tag ke seluruh anggota Republik Bulubabi yang telah terdaftar secara resmi.
  8. Motto Republik Bulubabi adalah “Cara terbaik untuk memulai membaca adalah membaca, dan cara terbaik untuk memulai menulis adalah menulis”.
  9.  Lagu Kebangsaan Republik Bulubabi adalah “Jayalah Republik Para Pejalan Jauh”.
10.  Anggota Republik Bulubabi dinyatakan keluar atau mengundurkan diri apabila selama enam bulan berturut-turut tidak melaksanakan kewajibannya seperti yang tertera pada pasal 3.
11.  Seluruh tulisan yang diupload di note facebook oleh anggota Republik Bulubabi akan diarsipkan oleh petugas yang menjabat sebagai Direktorat Jenderal Bidang Arsip dan Sejarah.
12.  Seluruh tulisan tersebut, selain menjadi hak milik penulisnya, juga menjadi hak milik Republik Bulubabi. Oleh sebab itu, untuk kepentingan Republik Bulubabi, maka tulisan tersebut sewaktu-waktu apabila diperlukan, boleh dipublikasikan dalam bentuk buku.
13.  Jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan kabinet yang membantunya akan ditentukan kemudian jika Panitia Persiapan Pendirian Republik Bulubabi sudah bertambah minimal dua orang, yang artinya Panitia Persiapan Pendirian Republik Bulubabi dianggap sah dan mewakili anggotanya apabila sudah berjumlah minimal tiga orang.
14.  Jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan kabinet di bawahnya terbuka untuk seluruh anggota, kecuali jabatan Menteri Luar Negeri.
15.  Hal-hal lain yang dianggap penting, namun belum tertulis di draft awal ini akan segera dipikirkan.

Jakarta, 20 September 2010

Panitia Persiapan Pendirian Republik Bulubabi
(Dokuritsu Junbi Sao Sakai - Dukuritsu Junbi Inkai)

Sehari setelah itu, Bung Joni mulai mengarsipkan semua tulisan yang pernah diupload oleh para anggota Republik Bulubabi, tulisan-tulisan yang dihasilkan jauh sebelum embrio pendirian Republik Bulubabi terpikirkan. Dan hari menjadi sore setelah itu. Sinar matahari mulai temaram. Jarum jam mulai turun ke bawah. Bayangan berbalik ke timur. [ ]

Uwa, 11/11/10

Hot Inside

[Bagi yang tidak bisa bahasa Indonesia, jangan ikuti kami bernyanyi]

Di atas apartemen Cempaka Mas, awan putih terlihat seperti gerombolan biri-biri. Inilah wedhus gembel yang berada di langit Jakarta, aku melihatnya dari tempat jemuran. Di bawah, di gang yang setiap hari ramai oleh para pedagang keliling, terdengar suara pengamen ondel-ondel dengan bunyi-bunyian yang dapat membangunkan siapa saja yang sedang tidur siang. Anak-anak ramai sekali mengikuti rombongan ondel-ondel itu, bunyi ternyata serupa dengan kembang gula, dia selalu berhasil menjadi objek kerumunan anak kecil. Salur-salur kawat listrik dan kabel telepon terlihat rumit, energy listrik dan gelombang suara berputar-putar di dekat pohon rambutan yang bertetangga dengan tiang. Penjual ayam tepung mulai beraksi, di dekat got busuk dia mencoba menjaring rejeki. Beberapa baju mulai kering, saatnya dipindahkan ke tempat yang lebih aman sebelum hujan datang lagi dan merusak hasil kerja angin dan matahari. Komposisi pada sebuah siang yang cerah, tapi jangan lengah, sebab hujan senantiasa siap berhambur dari langit dan mengusir siapa saja yang merasa gerah.

Hari sedang sabtu. Setengah hari pekerjaan ditinggalkan. Saatnya berkaca pada dua sisi, kehidupan yang sebatas jarak pandang dan berita luas di televisi. Aku meninggalkan televisi dan bertemu orang-orang di moda transportasi. Banyak buku terbuka di sepanjang Kramat Raya, Salemba, dan Matraman. Manusia dengan segala aktivitasnya bisa dibaca kapan saja. Dengan bantuan angle yang bagus, ritme sehari-hari bisa berubah menjadi nutrisi. Makanan jiwa sesungguhnya sangat dekat, bahkan hampir tidak berjarak. Beberapa pohon angsana terlihat seperti mengantuk, matahari bersinar terik. Aku duduk di barisan kursi sebelah kiri, dekat sambungan bis dan dekat seorang perempuan bermata kelabu. Posisi itu membuat mata bisa melihat fakultas kedokteran UI di Salemba, gedung tua dengan kesan menjaga wibawa. Beberapa langit-langitnya yang di dekat jendela terlihat mengelupas. Gedung sesak sejarah. Dua Orde berguguran. Ketika artis Senayan senang berpelesir, banjir bertukar arti dengan genangan, dan orang bijak rajin makan uang pajak,  akankah prajurit-prajurit Salemba bergegas menyingsingkan lengan?. Jakarta BERKUMIS : berdebar kalau gerimis. Pintu air bertukar menjadi gunung, tumpukan sampah dan mungkin juga bangkai manusia. “Demonstrasi, nyanyian katak di musim penghujan.”

[Untuk melody, jam tujuh kumpul di tendanya masing-masing]

Tapi untunglah keadaannya tidak seperti di film (500) Days of Summer. Dia lebih memilih pergi sebelum semuanya lebih dekat, dan ini bagiku lebih mudah menjalankannya daripada berjalan jauh dan berujung pada satu titik kenyataan bahwa ada jenis perempuan yang bertype seperti Summer, perempuan yang beraroma musim kemarau. Memang tak bisa dipungkiri, semenjak dia “hilang”, minat menulisku tiba-tiba hancur. Motor penggerak itu baling-balingnya telah patah. Semangat membacaku hilang entah kemana. Ingin rasanya aku bakar buku-buku yang ada di rak kayu. Mereka tak bisa memberikan solusi kepada kondisi kehilanganku. Ini terdengar melankolik dan terasa berbau film India, tapi adakah manusia yang tidak pernah terpuruk?, even heroes have the right to bleed.

Padahal hari itu, hari sebelum aku tahu bahwa dia telah pergi dan tak meninggalkan jejak, aku sedang enak-enaknya mendengarkan lagu The Panasdalam, sebuah lagu romantic dari band absurd made in Bandung. Bahkan nama perempuan yang ada di lirik lagu tersebut aku ganti dengan namanya. Bung tentu tahu lagu “Nia”, bukan?, atau setidaknya pernah mendengar?. Nah, nama Nia aku ganti dengan namanya.

Dan hari ini sebaiknya lupakan saja semuanya. Cinta absurd dan invalid biar bersemayam di tempatnya yang telah ditentukan. Mari kita kembali kepada jalur, cerah ceria menelan hidup, bahwa yang datang dan yang pergi akan selalu bergantian, seperti kerja shift antara bulan dan matahari. Melankolic dan mendayu-dayu bukan mazhabku, melainkan jalan bagi mereka yang kelebihan stok air mata. Tak perlu repot lagi mencari bentuk dan identitas, lebih baik segera tuang saja kopi hitam dalam sachet itu ke dalam gelas, dan jangan lupa sebatang lagi biar terasa pas. Playlist tak usah diganti, biarkan saja Pidi terus bernyanyi. Aku tak boleh lagi khawatir seperti Mira yang merisaukan Erwin, tenang saja, semuanya masih dalam kendali.

Aku kirimkan aroma kopi dan asap cigarette untuk kawan-kawanku di Bandung, Sukabumi, Depok, Balikpapan, Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Tangerang. Jangan pedulikan lagi tanda panah yang akan membelokkan jalan. “Apa kabar pagi ini?, kurang ajar, segelas kopi diminum habis teman sendiri”, sudah lama juga tidak menjalankan hari-hari seperti itu. Masadepan selalu datang bagai Monster. Apa salahnya berjalan di atas peta sendiri?. Tempat pulang di dunia adalah bermanfaat bagi oranglain, menjadi lebah bukan untuk menyengat, tapi memberikan madu. Mari kita berlomba mengumpulkan bekal, sangat melelahkan kalau kita terus saling menghakimi. Pasti tidak akan berontak jika yang menegur tidak muntah dengan nada menembak.

[Jangan menunggu reff, tidak ada reff, langsung kembali]

Ada apa hari ini?. Ada Merapi yang belum berhenti muntah, ada anggota parlemen yang jalan-jalan ke Eropa. Headline tak pernah berganti dari kabar buruk, seperti meludah ke atas, air liur menghantam muka sendiri. Ada yang menaklukkan Kilimanjaro, mengucap Sumpah Pemuda di atap Afrika. “Kami bangsa Indonesia mengaku, berbahasa satu, Amerika!!”

[Roim, id anam ralu?, ralu id hawas] 

“Nadya sedang mandi pagi itu, ketika seorang laki-laki masuk ke kamar. Di bawah guyuran air yang dingin dia tidak tahu, laki-laki itu tengah tidur di atas kasur. Aktivitas di kamar mandi di mana-mana sama, gosok ini, gosok itu, guyur ini, guyur itu, semua tidak ada yang istimewa, kecuali jika Nadya membuatnya menjadi istimewa. Laki-laki itu sebenarnya tidak tidur, dia hanya memejamkan mata saja, dia sebenarnya tengah menunggu, menunggu sesuatu yang membuatnya tidak sabar. Dengan hanya memakai handuk sebatas dada, Nadya kemudian berjalan menuju kamarnya. Sementara karena sudah tidak sabar, laki-laki yang di kasur kemudian membuka baju. Kemudian Nadya masuk kamar dan menutup pintu, lalu memakai baju dan membereskan buku, Nadya kuliah pagi hari. Yang ditunggu laki-laki itu akhirnya datang, kawannya yang bernama Iwan datang membawa minyak angin dan uang logam, bersiap dia mau kerok punggung laki-laki yang tengah terbaring, karena semalam suntuk main PS dengan jendela kamar terbuka, laki-laki itu akhirnya masuk angin dan harus dikerok dengan bantuan kawannya, untung dia kuliah siang hari. Nadya pergi ke kampusnya yang berada di Depok. Sementara laki-laki itu tengah dikerok di kamarnya di Bandung.”

Itu adalah dua adegan tentang dua orang mahasiswa yang berbeda tempat. Nadya dan laki-laki yang masuk angin. Dua adegan dalam satu cerita. Kamu suka adegan yang mana?. Yang mandi atau yang dikerok?. Oh, mungkin ini tergantung jenis kelamin. Tapi yang pasti kamu adalah seorang sutradara. Ketika kamu menulis, sebenarnya kamu juga tengah membayangkan apa-apa yang kamu tulis itu. Maka cerita yang bergulir adalah potongan-potongan adegan yang sambung-menyambung. Mirip dalam sebuah film. Jalan cerita seperti apa yang kamu inginkan?, itu tergantung bayangan adegan yang ada di kepalamu. Maka sebuah tulisan adalah rangkaian adegan-adegan yang kamu reka-reka sesuai selera kamu. Tapi jika itu bukan fiksi melainkan cerita nyata, maka kamu juga pasti sambil mengingat peristiwa yang telah kamu alami atau merangkai berbagai teori dan konsep.

Membayangkan sesuatu yang akan kamu tulis, terkadang membutuhkan mata yang terpejam, atau kamu akan menerawang, melihat-lihat tapi tidak fokus dan kosong, karena pikiranmu sedang tertuju pada bahan tulisan, pada adegan yang akan kamu tuliskan. Kadang-kadang hal itu membuat kamu pusing, karena terlalu banyak adegan yang memungkinkan untuk kamu tulis. Menuliskan seorang Nadya yang sedang mandi saja bisa banyak sekali. Bisa kamu bahas dari masalah sabun dulu, bisa dari baju dulu, bisa dari keluarga Nadya dulu, dan macam-macam yang lain sesuai seleramu. Sehingga hal itu terkadang membuat kening berkerut-kerut dan kepalamu terasa pening, karena tumpukan ide yang menggunung, karena gagasan tumpang tindih di batok kepalamu.

”Adegan Panas” adalah salah satu ide yang keluar dari keputusanmu dalam menuliskan sesuatu, dan hal ini sangat relatif. Tergantung seleramu. Mau dibawa kemana banjir idemu?. Mau seperti apa jadinya tsunami gagasanmu?.

[Id hawab ajem urug ub agitiges anrawreb harem nuram]

Seperti ingat Bandung. Angkot Gerlong - Ciwaruga yang selalu menunggu penuh, komposisi harus lima-tujuh. Gang penuh dengan kuburan, dan penduduk masih rajin bakar kemenyan. Khairil anam di setiap awal subuh dan ashar, warung mie rebus yang berjajar dengan jarak yang wajar. Warnet dengan kecepatan orang sabar, download tiga lagu perut keburu lapar. Tukang cukur dekat warung fotokopi, dan jalanan yang sering penuh debu. Alfamart di pusat ibukota, tak jauh dari kantor kepala desa. Penuk sesak di Salwa dan nasi Padang si Uda. Rental DVD selalu menyembunyikan film biru, dan mahasiswa yang menyewa selalu berbisik dengan malu-malu.

Seperti ingat Bandung. Naik jurusan Ledeng-Kebon Kalapa, dan turun di Gramedia. Mahasiswa kere dilarang beli buku, harga kertas mencekik penerbit. Lalu terdampar di pojok buku murah yang tak laku, beli novel tebal seharga sembilan ribu. Omunium di Ciumbuleuit, Rumuh Buku di Hegarmanah, Rumah Malka di Suci, Alebene di Karang Sari, Baca-baca di selasar utara Sabuga. Perjalanan malam Sarijadi-Viaduct, tiga orang dikhianati ijazah Diploma. Perempuan symbol khayalan di Sarijadi, penyu yang diawetkan di depan kostan Amerika. Kawan-kawan penganguran beradu tembakau di tempat jemuran, menghitung nasib di bawah sinar matahari sore.

Seperti ingat Bandung.Persib. Siliwangi. Lembang. Cikole. Jayagiri. Manglayang. Babakan Siliwangi yang dinding jalannya penuh tato. The Pandal. Barak, asrama di bibir jurang. Perempuan Wangihujan.

"Jangan takut preman, preman juga makan nasi
Jangan takut Polisi, kalau tidur kita gilas
Jangan takut Tentara, tentara juga punya istri
Jangan Takut Mike Tyson, tuanya nanti parkinson
Jangan takut mak lampir, mak lampir itu Farida Fasya
Jangan takut tetangga, rumah kita pake pagar
Jangan takut Ibu, Ibu uangnya dari Ayah
Jangan takut Ayah, Ayah takut sama Ibu
Jangan takut tidak naik kelas, tinggal pindah sekolah
Jangan takut monster, monster gagah luarnya doang
Jangan takut Neraka, banyak ibadah masuk Surga  

Takutlah jika kau dibenci
dijauhi teman-teman
sepi hidup sendiri." [ ]


uwa, 5 Nov '10


Latihan Pernafasan

Usianya jauh di atas saya. Dia sudah mempunyai dua orang anak waktu saya masih kelas 2 SD. Perawakannya kurus, garis wajahnya mulai dipenuhi oleh tekanan batin yang cukup hebat. Dulu waktu masih sekolah, dia adalah seorang murid jempolan. Guru-gurunya bangga dengan dia. Dan jenjang pendidikan terus naik, memasuki masa kuliah, dia dibiayai oleh salah seorang gurunya untuk melanjutkan study di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Kecemerlangannya terus bersinar, sampai tibalah masa itu, masa ketika perempuan itu datang, dia jatuh cinta, lalu mendesak kedua orangtuanya untuk segera menikahkan. Pertentangan antar generasi kemudian datang, orangtuanya ingin agar dia menyelesaikan dulu study, setelah itu baru menikah, “bereskeun heula kuliah, engke oge da pasti dikawinkeun, sing sabar saeutik, pan maneh teh kuliah tinggal sataun deui”, demikian nasihat orangtuanya. Tapi karang terlalu keras untuk diterjang, tekad sudah terlalu bulat untuk dibendung. Mereka kemudian menikah, dia berhenti kuliah dan istrinya baru saja lulus dari Madrasah Tsanawiyah, sekolah Islam setingkat SMP. Bahtera muda itu kemudian berlayar, di sekitar pantai pemandangannya masih terlihat indah dan angin masih semilir menenangkan. Semakin ke tengah, barulah badai itu datang.

Pertengkaran tak habis-habis. Talak entah sudah berapa kali dijatuhkan. Tapi si istri terus saja melahirkan anak. Inilah keajaiban dunia nomor delapan. “Bila cinta tak indah bagimu, mengapa kau tetap bertahan?”, demikian kata The Panasdalam. Anak-anaknya terus bertumbuh, biaya pendidikan semakin menggantang, kebutuhan ekonomi terus melambung, dan pertengkaran terus berlangsung. Keduanya telah sama-sama kurus, badan mereka habis dimakan emosi dan pikiran. Sekarang anak mereka sudah berjumlah sembilan orang, dan kedua orangtuanya telah berpisah. Mereka semua ikut bapaknya, wajah laki-laki itu semakin penuh oleh garis tegas tentang kekecewaan.

Di sebuah jenak kehidupan, saya mendapatkan kisah ini dari seorang kawan. Ini bukan soal menggugat pernikahan dini yang bersandar pada syariat, bukan pula mendukung program pemerintah tentang pembatasan anak, tapi ini soal latihan pernafasan. Banyak sekali pelari marathon yang tenaganya habis sebelum menyentuh garis finish. Prajurit gugur sebelum habis bertempur. Dan bangunan terbengkalai sebelum selesai. Peta manusia tidak sama dengan atlas dunia. Garis sebagai symbol jalan tidaklah tetap, tapi berubah dinamis mengikuti deretan keputusan.

Sebenarnya kisah nyata ini ingin sekali saya tuliskan dalam bentuk cerpen atau novel, tapi saya tidak ingin berdebat. Saya hanya ingin menuliskan kisah kemanusiaan yang sederhana. Terkadang idealisme ditikam kenyataan, dan impian dihancurkan keadaan. Siapa yang keluar sebagai juara?, merekalah yang rajin berlatih pernafasan. Dan para pemenang instant tidak pernah layak untuk dikenang.  [ ]

Uwa, 15 Nov ‘10

Menyala di Dalam

Seorang anak kecil dengan uang seribu rupiah di tangan, memakai kerudung warna biru, siang itu, waktu hujan selesai menjalankan tugasnya, dia datang lagi. Harga sewa per-buku memang hanya lima ratus rupiah, tapi bukankah uang sebesar itu masih bisa untuk membeli kembang gula?. Anak itu datang lagi ke Topi Bundar, menyewa dua buah buku warna yang bergambar. Siti Khadijah, perempuan yang duduk di balik meja, di tempat penyewaan buku tersebut, dengan kerudung hitamnya terlihat cerah waktu melayani anak-anak yang semangat menyewa buku. Bung Fikri, pengelola Topi Bundar, terus bergerak melebarkan sayap jaringan dan kegiatan. Dengan semangat yang sepertinya tidak pernah padam, dia tidak hanya membuka toko buku, penyewaan buku, dan ruang baca saja, tapi juga mengadakan kelas belajar membaca, kelas belajar menggambar, dan sesekali mengadakan pelatihan menulis dan bedah buku.

Letak Topi Bundar tidak jauh dari jalan Siliwangi yang sekarang sudah dibuat satu arah. Banyak gang yang dapat dilalui untuk mencapai kantong literasi tersebut. Yang aksesnya paling dekat dan paling sederhana adalah lewat jalan yang berada di samping SD Pintukisi. Bangunannya berlantai dua, warnanya didominasi oleh hijau tua, dan bersebelahan dengan TK An Nuur, Kebonjati. Di dalam, udaranya selalu sejuk, maklum saja sebab bertetangga dengan sebuah kebun yang tidak terurus. Cahaya matahari masuk melalui jendela kaca yang lebar. Cahaya itu menjadi penerang bagi ratusan buku yang berjajar rapi di rak kayu. Di lantai satu terdapat perpustakaan dan toko buku. Sementara ruang baca, tempat belajar membaca dan menggambar terdapat di lantai dua. Udara sejuk mengusai semua ruangan, sebuah tempat yang benar-benar nyaman bagi mereka yang berminat belajar dan berinteraksi dengan buku. Saya duduk di balkon, daun pohon mangga menyentuh jendela, burung-burung kecil berloncatan di kabel telepon, bayangan pohon mangga menyentuh jalan kecil yang beraspal.

Sekitar jam dua saya pamit, lalu meluncur ke pusat kota, dan menyambangi setiap toko buku. Di sebuah toko buku kecil, di jalan Ahmad Yani, saya mendapati buku Muhidin; Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta. Saya membeli dua dan mengabari Bung Erlan, lalu deal : akan saya kirim ke Gudang Peluru distrik Cibiru, Bandung. Kemudian hari menjadi semakin sore, dalam perjalanan pulang ke kampung, dada saya terasa gembung. Lega sekali mendapati kantong literasi di Sukabumi, bertemu dengan kenyataan; bahwa anak-anak tidak melulu menyuntuki game atau terpaku di depan layar tv menyaksikan kartun favorit, mereka juga ternyata menggandrungi buku. Mobil yang saya tumpangi mulai jauh meninggalkan kota.

Perjalanan ke kampung memang lama, ada sekira tiga jam. Untuk membunuh bosan, saya online memakai ponsel sederhana. Di dunia jejaring social saya membaca tulisan seorang kawan yang tinggal di Yogya, dia melempar ide baru nan segar; menulis sejarah kampung. Kota-kota besar yang sering menjadi bahan kajian sosiologi, pusat ekonomi, dan akulturasi budaya, sesungguhnya terdiri dari beberapa kampung. Kota adalah gabungan dari ratusan RT dan puluhan kelurahan. Sementara yang selalu menjadi pembicaraan dan yang tercatat dalam berbagai literature adalah kota secara Makro, masyarakat hanya mengenal kota lewat icon dan landmark saja. Menulis sejarah kampung adalah sebuah usaha untuk mencatat setiap renik data dan kenyataan sosial yang ada dan terjadi pada kehidupan masyarakat sehari-hari, sebab menjadi bagian dari sejarah bukan monopoli kota-kota besar saja. Pun begitu, sejarah tidak melulu soal-soal yang sudah lampau, menuliskan kuliner khas dan kegiatan sehari-hari, bisa juga menjadi awal untuk menuliskan sejarah kampung. Demi membaca tulisannya, saya kemudian teringat Sumur Batu, sebuah kelurahan di pusat Jakarta yang sesak oleh banyak gang, penjual keliling, got busuk, warung kopi, dan anak-anak yang selalu ramai bermain di waktu sore. Saya tiba-tiba ingin menuliskan semuanya.

Mobil terus laju, pemandangan semakin didominasi oleh perkampungan petani yang miskin. Asap mengepul dari jerami yang dibakar. Sinar matahari masih berusaha menerobos lewat kaca jendela. Dua anak kecil telanjang dada tampak menangis berebut kembang gula. Di langit yang semakin redup terlihat sebuah layangan, dia terbang karena menentang angin. [ ]

Uwa, 15 Nov ‘10

Sabtu, 06 November 2010

Tragicomedy


Memang sudah dari dulu, bahkan sejak dari jaman kolonialisme Belanda, waktu orang-orang pribumi tidak merasa dijajah karena sudah terlalu lama diperintah oleh bule-bule yang berasal dari negara sangat kecil di Eropa barat. Banjir sering melanda Batavia, dan tahun masih diawali oleh angka 18 (seribu delapan ratus). Mungkin niatnya baik, lihat saja di Jakarta banyak sekali kanal yang kalau saja kondisinya bersih dan tidak dijadikan septic tank oleh warga di bantaran, bolehlah disamakan dengan kanal-kanal di negeri Kincir Angin. Tapi hidup dalam serba darurat, kumuh, jorok, dan dijadikan anak tiri oleh pemerintah sendiri memang mempunyai seni yang absurd, seperti lukisan realis tentang survival. Mandi, cuci, kakus, dan berbiak di rumah-rumah petak di sepanjang bantaran kali.

Maka kemarin, waktu saya melihat kalender, tanggal sedang berdiri di angka 25, di hari senin yang basah dan dingin oleh hujan yang deras. Jam baru setengah lima sore, suasana dan warna langit seperti sudah mendekati adzan isya, gelap merayap penuh misteri, seperti di film animasi tentang kaum nabi Nuh. Saya melihat keluar melalui kaca jendela, air sudah berhamburan sebesar buah kelapa yang sudah dihaluskan, mereka seperti sedang berebut mencium wangi bumi. Angin bertiup kencang, dan dapat kau tengok daun pohon asem mulai berguguran. Saya balik ke meja dan mendengarkan lagi Polyester Embassydengan volume yang cukup sopan :

Is anybody there can watch me
Is anybody there can hear me
And I feel lost and I feel empty
Is anybody there can feel me  
You're come as a key
  
Maghrib datang, hujan masih menyerang dan hawa dingin semakin mengambang. Ke mana setelah kewajiban gugur?, tentu saatnya pulang. Payung tak terbawa dan air mulai naik meninggalkan parit di pinggir jalan. Sirkuit sudah sesak oleh kendaraan yang seperti tak pernah dibatasi produksinya, padahal jalan tak bertambah, malah semakin menyempit demi memberi rute kepada bus way. Maka mengurai macet tak usah adu pintar beretorika, perhatikan saja koran sabtu dan minggu, akan kau lihat lowongan untuk menjadi sales motor dan mobil tak pernah absen. Atau sekali-kali mainlah ke Sunter, pasti kau akan bertemu dengan para perakit motor Jepang berlogo sayap dengan tas gendong hitam bertuliskan “25.000.000 Achievment”. Sudah jam tujuh malam, tapi hujan tak ada tanda-tanda mau berhenti. Satu-persatu karyawan yang membawa payung mulai melacak jalan pulang. Yang tersisa tinggal enam orang dan tengah asyik dengan account facebooknya masing-masing. Tujuh perlahan berubah menjadi setengah delapan, saya turun ke lobi, saatnya menerobos hujan, dan sandal jepit menjadi pahlawan.

Pasti bukan karena sopirnya demo kalau malam itu mobil 507 jurusan Tanah Abang tak datang ke terminal, mobil yang ke Senen hilang semua kecuali mikrolet no 37 yang berputar-putar dulu ke Kelapa Gading. Calon penumpang seperti para pemudik lebaran, semuanya menunggu monster hijau yang buruk rupa dan sangar. Jejentik jam terus berputar, sebentar lagi pukul delapan. Warung kopi di pojok terminal putar Didi Kempot cukup keras : Sewu Kuto karo Stasiun Balapan. Akhirnya bus Mayasari P7 jurusan Grogol-Roxy-Senen-Pulogadung datang, penumpang menyerbu seperti laron dihipnotis sinar terang lampu neon. Demi aman sentosa dari tangan-tangan terampil gerombolan copet, saya pilih posisi di belakang sopir yang rajin betul membakar Dji Sam Soe, asap pekatnya berseteru dengan aroma 1001 bau orang-orang berkeringat. Bus padat penumpang mulai bergerak malas di tengah kemacetan karena banjir. Kecepatan kira-kira 100 km/bulan. Waktu tempuh Pulogadung-Cempaka Mas yang dalam kondisi normal sekira 10 sampai 15 menit, malam itu molor menjadi 2 jam, saya beranjak tua di dalam bus. Jadi sebenarnya bukan sengaja menjadi semacam mata-mata, artinya menyuruh mata terus bekerja melihat yang ada di luar bus, tapi karena di dalam pun tak bisa tidur dan gerah tak mau mundur. Bus mulai meninggalkan Pulogadung.

***

Alhamdulillah tak ada seekor pun ikan piranha yang sengaja menyusup ke genangan air setinggi lutut di depan RS Mediros, maka selamatlah seorang ibu hamil yang menuntun anak pertamanya menyeberang jalan menuju rumah sakit itu. Sementara suaminya menggendong anak yang kedua di belakang. Anak ketiga masih di dalam rahim, masih hidup di dunia lain yang tak tersentuh. Ibu hamil terseok membawa anak dalam kandungan, laju jalannya terhambat ketinggian air. Bus jalan lagi, hujan masih titik-titik turun. Anak-anak ceria belaka di pinggir jalan, bagi mereka, hujan dan banjir adalah hiburan. Empat orang pemulung sampah berlomba memungut botol-botol plastic yang mengambang di permukaan air yang menggenangi jalan, selintas seperti orang yang sedang menangkap ikan. Di Pulau Nangka, tidak jauh dari kantor Sumarecon, tiga buah drum bekas tempat minyak tanah yang berwarna merah diletakkan di pinggir jalan untuk mengontrol ketinggian air, posisinya berjajar dan berdekatan, bahkan antara satu drum dengan drum yang lain menempel. Dapat kau lihat dengan jelas, di atas drum itu duduk dua orang bapak-bapak yang hampir tua sedang sedap betul main catur, ketinggian air terus bertambah, pertarungan bidak-bidak catur semakin sengit, mungkin mereka termasuk anggota club catur tempat rezim Matarom berkuasa.

Antrian kendaraan semakin panjang, mungkin sampai Cempaka Putih. Kecepatan mobil semakin turun, kira-kira 100 km/tiga bulan. Anak kali Ciliwung yang membelah Bermis meluap, air leluasa menyerbu jalur bus way, di sebuah jembatan terlihat seorang bapak tua tengah mancing, arus air sangat cepat, mungkin ikan tak di dapat, ikut terseret bersama tumpukan sampah yang hanyut ke darat. Pak sopir masih setia dengan asap pekat dari cigarette duatigaempat, dua orang kondektur sibuk menagih ongkos dan mengatur posisi penumpang, “tolong maju terus ke tengah Pak, kasihan yang di pintu nih, ayo geser-geser terus, ga ada lagi mobil, banjir di mana-mana,” lantang sekali dia berteriak. Jangan tanya gerah, orang-orang sudah dari tadi keringatnya tumpah, aroma 1001 rempah-rempah busuk menyerang indera pencium dan mengajak mulut untuk muntah, untung saja sudah dua tahun saya terbiasa dengan angkutan brengsek seperti ini, jadi sudah mulai imun dengan kondisi seburuk apa pun. Masih padat sangat sangat merayap, satu jam meninggalkan Pulogadung akhirnya sampai di perempatan Kayu Putih-Kelapa Gading. Gelap malam tak dapat menyembunyikan senyum Bang Foke dengan kumisnya yang tebal macam ulat bulu, yang tengah berdiri di sebuah baliho besar dan tinggi di perempatan itu. Tulisan di baliho itu, di bawah foto Gubernur ahli itu, terkesan asyik sekali : “Lebaran Betawi. Buat nyang ngaku orang Betawi datang ye, di jamin seru dah.” Tentu acara itu sudah lewat, karena lebaran 1431 H sudah tercecer di belakang, tapi balihonya masih eksis, mungkin pegawai Pemda tak ada yang berani menurunkannya, takut dianggap mengkudeta Gubernur.

Lampu merah di perempatan itu memang lama sekali, ditambah pula oleh banjir dan ratusan para pengendara motor yang saling serobot jalan. Bus masih tertahan, dan saya membaca lagi tulisan di bawah gambar Bang Foke, pasti kemarin acaranya dimeriahkan oleh tanjidor, silat Betawi, roti buaya, kerak telor, dan orang-orang dengan logat bicara seperti Malih Tongtong. Sayang sekali saya telat mendapat informasi, padahal kalau bisa hadir dapat menyaksikan reuni budaya dari sebuah komunitas yang semakin terdesak. Lampu merah berganti hijau, bus merayap lagi. Di halte Pulomas calon penumpang sudah banyak menunggu, tapi bus sudah penuh, dengan terpaksa kondektur tak mengangkutnya. Tampak dari jendela, seorang pemuda berwajah santri, berkopiah putih, dan baju hitam bergambar Swastika (lambang Nazi), sedang berjualan gorengan. Asap mengepul dari wajan penggorengan, rupanya pisang tanduk berbaju tepung sedang dieksekusi. Beberapa calon penumpang berusaha memaksa masuk, tapi tak berhasil, di dalam sudah seperti tumpukan ikan asin. Sopir injak pedal gas, lalu injak rem, begitu berulang-ulang. Dari tadi banyak sekali ponsel yang berbunyi, bukannya menguping, tapi suaranya pasti terdengar, tentang orang rumah yang menanyakan posisi, maklum jadwal tidak seperti biasanya, bergeser beberapa jam, dikasih improvisasi oleh air yang naik beberapa puluh centi di permukan bumi.

Posisi belum jauh dari halte Pulomas waktu ponsel saya ikut-ikutan berbunyi, sebuah sms dari provider GSM : aktifkan i-ring lagu dar.der.dor dari band bla.bla.bla.bla, gratis untuk Anda. Seharusnya sms macam begitu tak perlu dibalas, cukup didelete saja, tapi saya sedang banyak pulsa, maka dengan senang hati saya membalasnya : teu hayang !!. Bus  lalu sampai di ASMI, kampus berwarna ungu yang gedungnya kurang terawat. Di atas halte ada papan reklame, mbah Maridjan say : Roso!!, tapi berita hari ini beliau dikabarkan telah dikhianati Merapi.

Seorang perempuan muda, saya kira mahasiswi kampus berwarna ungu itu, mencoba masuk ke dalam bus, tapi di ambang pintu sudah dihalau juragan kondektur, ikan asin belum ada satu pun yang turun. Perempuan muda dan sekaligus cantik itu kembali ke halte yang sudah sesak oleh manusia tuna kendaraan. Bosan melihat ke luar, saya mencoba menganalisa penumpang bus yang siapa tahu ternyata adalah copet. Kalau melihat dari wajah memang bukan hal mudah, tapi bisa dilihat dari transaksi penagihan. Penumpang yang tidak bayar dan kondekturnya tidak banyak protes, kemungkinan besar dia adalah copet. Dan copet di bus Mayasari ekonomi sangat jarang ada yang berani bersolo karir, sekali beraksi minimal lima orang, biasalah tipikal orang-orang pecundang yang tidak mau ambil resiko besar. Modusnya rata-rata seragam, yaitu ketika mereka mau turun di dekat basecamp-nya, mereka sengaja menabrak korbannya agar konsentrasi korban pecah, agar si korban terkejut dengan tabrakan yang disengaja itu, dan lengah pada dompet dan Berry Hitamnya. Nanti ketika konsentrasi sudah penuh lagi, barulah korban berteriak, “Aduh, saya kecopetan!!”, sementara dompet dan ponselnya yang hilang sudah berada di genggaman tuan-tuan pecundang. Saya lihat kondektur yang masih menagih ongkos, semuanya menyerahkan uang 2000 rupiah. Kemungkinan kali ini copet tidak berani, sebab medan untuk melarikan diri agak riskan, banjir setinggi lutut orang dewasa akan menjadi penghambat lari, dan kalau lambat berarti siap dibantai khalayak ramai, sebuah perhitungan yang cukup pandai.

Bus terus berjalan menyaingi keong paling lambat sedunia. Sudah hampir jam sembilan malam waktu Indonesia bagian banjir, angin sesekali menerobos lewat kaca jendela, memberi nuansa freon kepada tumpukan ikan asin yang selalu nrimo diberi angkutan umum macam begitu oleh pemerintahnya. Sebenarnya bukan nrimo sih, tapi mungkin tak ada waktu buat protes, buat demonstrasi ke Bundaran HI, sementara perut butuh isi, pulsa harus tetap oke, anak harus tetap sekolah, istri hamil lagi, dan aspirasi tersumbat di tengah got. Angin datang lagi, tak ada sedikit pun aroma bulan, benda-benda langit yang biasanya terlihat bercahaya, malam itu hilang berjamaah. Sebentar lagi sampai di Pedongkelan, sebuah daerah yang punya perkampungan seperti di film Slumdog Millionare, tepat di pinggir semacam danau yang airnya hijau bagai kubangan kerbau. Keringat membuat kacamata minus berembun lagi, saya bersihkan dengan baju kerja, pakai lagi, berembun lagi : resiko bermata empat. Saya lihat lagi keluar, oh sudah di Pedongkelan. Di depan sudah terlihat komplek ITC Cempak Mas dan antrian kendaraan yang tak ada putusnya. Sopir berjuang keras mencari celah di tengah kendaraan yang tumpah ruah. Lalu sampailah di perempatan Cempak Mas, dan MasyaAllah… : macet pisan !!!.

Saya turun dan memilih berjalan kaki, Sumur Batu sedikit lagi. Tiga metro mini tenggelam setengah badan, tepat di dekat halte Cempaka Timur. Kemacetan yang benar-benar tidak bisa diurai. Saya naik ke jembatan penyebarangan dan bertemu tiga orang karyawati bank yang sedang seru berphoto-photo dengan latar belakang banjir dan kemacetan, oh pasti buat dipamerkan di fb. Dari atas terasa sekali, Jakarta seperti sarang kunang-kunang yang tak mau berhenti mengeluarkan cahaya. Saya berdiri sebentar di jembatan penyeberangan itu dan kemudian pulang lewat komplek ruko Cempaka Mas. Sandal jepit masih dipijak, dan dingin mulai terasa menyerang. [ ]

Uwa, 27 Oktober 2010

Kabel Putus


Sebenarnya hanya mau pinjam majalah National Geographic, tapi urusannya jadi sedikit rumit. Ini terjadi karena kawan saya bersikap macam buronan, pindah kostan tak kasih kabar, sudah tahu saya mau ke tempatnya. Maka siang itu dapat kau lihat langit Jakarta sedang bagus oleh awan hitam, yang artinya hujan akan segera datang, yang artinya lagi saya dapat menikmati mie ayam dan lalu membakar cigarette dengan mantap. Tak usahlah kau rajin mengutuk cuaca, karena tukang gorengan di ujung gang justru senang dengan cuaca dingin seperti ini, sebab dagangannya akan cepat habis. Lagi pula para pembuat lirik lagu dan para pembuat puisi mendapat berkah juga dari cuaca murung ini. Di bawah payung berwarna biru saya berjalan lewat gang yang disesaki rumah-rumah petak kecil tempat tinggal para pedagang kaki lima, seorang bocah asyik main air yang jatuh dari atap yang bocor. Dua orang pemuda dengan baju pilkada DKI, dan yang satu lagi memakai baju partai pemenang pemilu, nampak sedap betul menghisap cigarette kretek sambil mempersiapkan dagangannya untuk nanti sore, dan sambil mendengarkan radio. Sayup terdengar dari radio itu lagu “Serenada”, suaranya kurang jelas sebab bersaing dengan suara hujan yang berderap menghantam bumi :

Aku ingin nyanyikan lagu
Buat orang-orang yang terbuang
Kehilangan semangat juang
Terlena dalam mimpi panjang

 Seorang nenek di atas kursi rusak nan kumuh terlihat sedang merenung, tatapannya mengarah ke tanah yang basah, tapi sebuah tatapan yang kosong. Pikirinnya mungkin sedang menerawang ke masalalu atau hinggap di dapurnya yang kotor dan berdebu, tapi jalan pikiran orang siapa yang tahu. Pemandangan berakhir di ujung gang, di depan sudah terlihat halte bus way. Senen oh Senen, sering betul aku melewati daerah itu, para gepeng berkerumun di lampu merah, tangannya menengadah mengharapkan berkah, siapa tahu ada recehan yang menghampiri tangan kumalnya. Sebagian lagi berteduh di dekat baliho seorang anggota legislatif yang tersenyum ramah sambil mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H”. Saya sampai di Harmoni dan bersegera mencari tahu harus naik mobil jurusan mana kalau mau sampai di Slipi?, nama yang aneh, daerah yang terus mengantuk. Di dekat Menara Peninsula saya berkirim sms tentang alamat jelas, tapi balasannya sangat menjengkelkan, “Gw udah pindah ke Kelapa Gading Bro, aduh sorry gw lupa ngasih tau lo. Lo ke sini aja deh pake taksi ntar gw yg bayar.” Mampus, tahu sudah pindah ke Kelapa Gading tinggal loncat saja naik M53 dari Sumur Batu. “Hei Bung, ente Kelapa Gadingnya di mana?, gw Cuma tahu Boulevard doank.” Lalu menghentikan Burung Biru dan meluncur ke Boulevard. Hujan turun semakin deras.

Rupanya Cempaka Putih banjir, mau ambil jalur alternative tidak bisa, kiri-kanan, depan belakang penuh belaka oleh kendaraan, macet menjadi juara. Ojeg payung berebut pasien di depan komplek Cempaka Mas. Asap mengepul dari gerobak tukang bakso, beberapa perempuan muda mengerubungi gerobak itu. Jalan masih macet, suara klakson meramaikan polusi suara, symbol urat sabar yang telah putus di tengah kota. Umpatan “Anjing, Babi, Monyet” sesekali terdengar dari bus-bus besar. Inilah waktu yang tepat untuk memutar “Ode Buat Kota”. Ponsel berbunyi, sms dari Kelapa Gading, “Udah nyampe di mana lo?, lama banget, gw udah abis empat batang nih di Boulevard.” Tidak saya balas, orang tak sadar lingkungan sekali-kali harus dikasih pelajaran, dia seperti hilang ingatan, bahwa : Jakarta hujan = Jakarta Macet. Akhirnya kemacetan bisa diurai, dan Burung Biru terus melaju ke Kelapa Gading. Di depan Circle K dia duduk di lantai, mukanya penuh dengan rona bosan menunggu, sementara aroma cigarette putih tercium dari radius tiga meter. Tak banyak cakap, kami lalu meluncur lagi dengan Burung Biru menuju ke kostannya.

"Mana National Geographic?”, sambil tangan terus mengacak-ngacak rak bukunya. “Ga ada, kemarin dibawa temen gw, lagian lo kan ga bilang kalo mau pijem majalah itu.” Gagal maning. Ini memang salah saya. Tadi sebelum berangkat, saya hanya bilang mau pinjam majalah, tidak disebutkan majalahnya apa. Akhirnya saya hanya membawa pulang majalah Rolling Stone dan Tempo, tentunya setelah hujan reda. Pulang tidak lagi memaki Burung Biru, cukup 37 dan M53 saja. Beberapa ruas jalan digenangi air, angin bertiup pelan. Di kejauhan terdengar suara letusan, seperti pistol yang menyalak. Datar sekali. Saya merasa hidup di dalam stoples, berputar pada space yang sama. Tak ada lagi minat menulis yang dulu pernah datang menyerbu. Tak ada lagi minat membaca buku yang meluap-luap. Gudang peluru tak terurus, saya hanya mampu membaca majalah dan mendengarkan music. Saya merasa terasing di kamar sendiri.

Just like gravity
You bring me down
Just like gravity
You kill my will

 Di depan Universitas Yarsi saya loncat. Hari mulai gelap. Adzan maghrib sudah berlalu. Saya lihat jam di ponsel, tapi malah ada pesan yang belum terbaca, rupanya diterima tadi jam lima sore, isinya dari Rumah Buku Bandung : Kineruku akan memutar film “Babi Buta yang Ingin Terbang”, jam 18.30, akan hadir sutradara dan salah satu pemainnya, Edwin dan Ladya Cherryl. Maaf Bung, saya sekarang di Jakarta, tak ada waktu lagi untuk menghadiri acara di Rumah Buku Bandung. Saya hapus pesan itu, jam sudah duduk di 18.20, dan ternyata hujan belum menyerah, dia turun lagi.

Besok minggu, saatnya membeli Kompas. Saya tidak bisa bertahan lama membaca di Kompas.com, radiasi layar monitor membuat mata menjadi cepat lelah. Dan pagi itu segera bergegas ke tukang koran, lalu di dalamnya mendapatkan agenda budaya : Festival Fim Eropa, 29 November-2 Desember 2010. Saya lihat kalender, ternyata hari kerja semua, niat nonton saya kubur. Adapula pemutaran yang lain, restropeksi untuk pembuat film Ghost Writer, tanggalnya sama saja, tidak bersahabat dengan agenda jam kerja. Sementara JIFFest pun belum jelas kabarnya, panitia masih melobi pemerintah untuk menutup dana yang masih kurang. Jika sampai tanggal 1 November belum terkumpul satu milyar, maka JIFFest 2010 batal. Apalagi yang tersisa?, semuanya seperti sedang berkonspirasi untuk memojokkan saya yang tengah down. Sudah lama tak membuka facebook, lalu login. Ada agenda launching album terbaru Bangkutamandi Kemang, waktunya malam jum’at, jam 20.00 wib, saya lupakan. Headline koran tidak saya baca, isinya melulu tentang bencana. 

Saya berpindah ke majalah yang dibawa dari Kelapa Gading. Ada Mocca di Rolling Stone, mereka mengeluarkan mini album : Butterfly on My Tummy. Zeke Khasali membuat album solo, yang meresensi menulis bahwa lagu-lagunya susah dicerna karena liriknya rumit dan kualitas rekaman yang buruk. Majalah musik kurang bisa saya nikmati, saya beralih ke Tempo. Bahasanya lumayan, tapi masih bagus bahasa Tempo yang sebelum dibredel Orba. Bosan. Majalah sudah habis, sementara buku tak lagi mengundang selera. Penghuni kost yang lain mulai berdatangan, lalu lingkaran kecil berjumlah lima orang terbentuk, isinya hanya obrolan ringan, makanan ringan, softdrink, dan asap cigarette yang resikonya tidak ringan. Di antara lingkaran kecil itu saya mulai mengidentifikasi diri lagi, apa sebenarnya yang menjadi motor penggerak, dan saya mendapatkan ini : [1,2,3,4,5]

Hanya lima poin, itulah peta yang bisa dilacak. Tapi saya sedang sakit, motor penggerak itu tak berkutik. Malamnya lihat Mario Teguh, boleh juga si bapak ini. Ada sekira tiga poin yang masuk ke telinga dan susah keluar lagi, salah satunya kira-kira begini : “Hebatkan diri sendiri agar pantas dimiliki oleh orang hebat.” Saya kembali teringat jalan istiqomah, saya harus kembali ke jalan yang telah menemani selama ini. Kemudian bertemu dengan To Kill A Mockingbird dan From Beirut to Jerussalem, saya tengok harganya : tak sesuai dengan kantong akhir bulan. Saya cari di lapak buku bajakan : tidak ada. Saya pulang.

Even though I tried to save you
Even though I tried to save you. [ ]

 Uwa, 25 Oktober 2010

Rem Depan

Atta panggilannya. Saya tidak mengenalnya secara pribadi. Tidak pernah bertatap muka, dan tidak tahu wajahnya seperti apa. Tapi saya mengenal lewat tulisan-tulisannya di Negeri-Senja, sebuah blog pribadi yang enak dibaca. Waktu masih kuliah di Bandung saya rutin mengunjungi blognya. Sempat beberapa bulan tidak ditengok, dan sekarang mulai rajin lagi berkunjung. Siapa pun, atau setidaknya menurut saya, dengan membaca tulisannya, kita dapat merasakan bahwa hidup Atta memang layak untuk dirayakan. Hidup yang manis dengan persahabatan, cinta, dan hasrat menulis. Dalam tulisannya, Atta selalu bisa memotret harmoni bentang alam,  ironi manusia, cinta tak terlihat, dan perayaan menikmati hidup dengan cara yang sederhana. Di profile blognya hanya tertulis : Usia 30, beraktivitas di Jakarta. Hanya itu informasinya. Tapi waktu menelurusi setiap tulisannya, maka saya tahu bahwa dia pernah kuliah di Solo, dan sekarang kembali ke rumahnya, bekerja di Jakarta,dan tinggal bersama ibu dan kakak sulungnya. Di balik tulisannya yang pelan, runut, puitis, perlahan dan sabar, selalu mengapung nuansa inspirasi dan energy positif untuk selalu sadar bahwa hidup begitu indah untuk dijalani. Tapi saya agak terkejut waktu mendapati lagi blognya dan membaca tulisan ini :

“Saya tak pernah membayangkan kalau saya akhirnya ada di titik ini. Ketika saya lebih sering berhenti dan melihat sekeliling, membandingkan, dan menyesali banyak hal. Berjalan-jalan dari satu tulisan ke tulisan lain di laman ini membuat saya diliputi keheranan yang sangat. Dari mana energi itu dulu berasal. Saya begitu menikmati semuanya. Menulis dengan rutin. Berjejaring. Dan mensyukuri banyak hal. Malam ini saya merasa seperti orang yang kalah. Dilanda gundah yang sangat. Cemas atas banyak hal yang belum nyata. Saya melihat harapan saya pupus, perlahan-lahan. Pencapaian, eksistensi, penghargaan, waktu yang terbuang. Kepala saya penuh. Ada saran apa yang harus saya lakukan saat ini, ketika saya kehilangan saya.”

Seperti juga Atta yang tak pernah membayangkan, saya pun tidak menyangka kalau dia akhirnya akan mengalami berada di titik itu. Agak susah buat saya membayangkan seorang Atta, seorang yang menikmati pekerjaannya, mengapresiasi hidupnya, akan banyak berhenti untuk membandingkan dan menyesali banyak hal. Awalnya saya kira dia akan selalu senang sentosa tanpa dihantui oleh serangan rasa hampa yang senantiasa mengintai. Awalnya saya kira dia tak perlu lagi bicara mengenai eksistensi dan penghargaan, tapi ternyata saya salah. Dia sebenarnya tidak pernah menggenggam hatinya sendiri, sebab yang menggenggam hati, yang membolak-baliknya adalah Tuhan. Maka kemudian rasa terkejut itu perlahan hilang waktu saya membaca lagi tulisannya yang lain :

“Saya tak pernah tahu menjadi 31 ternyata begitu menyulitkan. Pikiran saya kerap dipenuhi kecemasan yang tak penting; pencapaian, masa depan, penyesalan atas waktu yang –menurut saya- terbuang sia-sia, bayangan-bayangan yang belum nyata. Hidup sepertinya terlalu bergegas dan saya tak mempersiapkan bekal yang cukup untuk itu. Seperti lalai membawa kotak makan ketika piknik akhir pekan. Atau seperti mendaki bukit dan diterpa kelelahan yang sangat. Dan saya begitu merindu menulis. Tapi saya tak menulis ketika cemas. Kalimat menguap ketika sedih berkepanjangan. Buntu. Ini hanya benang kusut yang harus diurai, pelan-pelan. Malam ini saya putuskan : Saya tak hendak menyerah pada hidup. Saya berjanji untuk itu.”

Ini agak berbeda dengan beberapa kawan yang saya kenal, mereka biasanya menulis ketika dilanda cemas dan sedih, sebab derita akan tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita. Bagi Atta sebaliknya, dia malah tak menulis ketika cemas. Dia seperti ingin berkonsentrasi dan focus melawan rasa sedihnya yang panjang. Dan usahanya tidak sia-sia, dia berhasil menegakkan keyakinan, dia tak hendak menyerah pada hidup.

Pergulatan Atta dengan kecemasannya mengantarkan saya pada sebuah petang rembang di pinggir jalan Jendral Suprapto, ketika gelap mulai merayap. Hujan tak datang sore menjelang malam itu. Macet sudah dimulai dari arah Cempaka Tengah. Lampu jalan bersinar temaram, seperti ingin menyembunyikan tukang sampah yang masih saja menyapu jalan. Usianya mungkin baru 38 tahun, tapi garis wajahnya pasti akan membuat dia terlihat lebih tua. Saya di seberang jalan, menunggu pesanan nasi goreng pindah ke piring. Saya bertanya dalam hati, apakah tukang sampah itu pernah membandingkan dan menyesali hidupnya?. Apakah dia pernah berpikir tentang penghargaan dan eksistensi?. Kalau pernah dan nilai hidup diukur dengan materi, pasti tukang sampah itu akan lebih menderita daripada Atta. Dia akan lebih cemas dan sedih dengan kenyataan usianya. Dia akan lebih menyesal berkali-kali lipat dibandingkan dengan Atta. Tapi sekali lagi, bukan dia yang menggenggam hatinya, dia tidak pernah dan tidak akan pernah mengusai hatinya sendiri.

Dalam penilaian dan sudut pandang relative, penderitaan sesungguhnya adalah ketika kita kehilangan diri sendiri, atau dalam bahasa Atta : “ketika saya kehilangan saya.” Kondisi ini akan menjungkalkan ketenangan hidup, dan cemas yang menumpuk. Belasungkawa saya untuk Atta, semoga deklarasi “tak hendak menyerah pada hidup” berhasil mengembalikan energy menulisnya. Berhasil membuat dia kembali bisa merangkai paragraf-paragraf  yang pelan, runut, perlahan, puitis, dan sabar. Saya merindukan tulisannya. [ ]

Uwa, 6 November 2010